[Vignette] A Sacrifice


A Sacrifice

written by bepimee (@meydawk)

Casts

OC || Lee Jinki SHINee

Length 2258 words || Genre Romance, Marriage-Life || Rating General

Summary

Terkadang, untuk mendapatkan sesuatu yang kau inginkan, kau harus berani mengorbankan sesuatu.

Dan aku bersedia.

.

.

.

 

Orang bilang, kadang-kadang untuk mendapatkan sesuatu yang kau inginkan, kau harus berani mengorbankan sesuatu. Sesuatu yang mungkin amat kau sukai. Kupikir, aku juga akan melakukannya. Merelakan sesuatu untuk sesuatu yang lain, yang lebih kuinginkan.

Seperti, senyuman Jinki.

Orang bilang itu konyol. Jinki hidup dalam dua dunia, namun juga tidak menyadari itu. Mengorbankan sesuatu agar Jinki dapat bangun dan hidup dalam satu dunia tentu bukanlah sesuatu yang normal. Orang menganggapku konyol, dan bahwa seharusnya aku tidak melakukan itu. Terima saja apa yang Tuhan berikan kepadaku, tapi aku tak bisa. Senyuman Jinki seperti candu, dan aku ingin mengembalikannya.

Jadilah hari ini aku mendaftar ketakutan-ketakutanku akan hal-hal yang tidak biasa. Sudah banyak yang kucoret di daftar itu, tanda bahwa aku tidak mungkin melakoninya. Meski begitu, tak sedikit pula yang masih tetap utuh. Aku menimang-nimang, aku harus melakukan sesuatu yang paling kubenci. Itu artinya, aku mengorbankan kebahagiaanku—meski untuk sementara saja—demi Jinki membuka mata.

Mataku terhenti ketika menatap tulisan tanganku sendiri. Menghadapi pantai.

Aku begitu takut kepada pantai, tepatnya aku benci laut. Dan karena pantai sangat dekat dengan laut, aku juga membenci itu. Banyak orang menyukai laut, tetapi aku justru alergi terhadapnya. Ibuku menyebutnya semacam trauma, meski aku sendiri tidak pernah merasa mengalami kejadian tak menyenangkan di sana.

Aku meraba tulisan ‘menghadapi pantai’ itu, menarik napas dalam, dan mempersiapkan diri. Seharusnya, jika ini berhasil, Jinki akan bangun. Tetapi aku sendiri ragu apakah aku dapat menghadapi debur ombak di laut dan berdiri menatapnya selama dua jam.


“Kau mau menjenguk Jinki lagi?” tanya Ibuku begitu aku menyangklong ransel dan memakai sepatu. “Berikan ini pada Ibu Jinki, ya? Aku kemarin pergi ke rumahnya dan melihat keadaannya tidak begitu baik.”

Aku tercekat. “Keadaan siapa? Jinki?”

“Ibunya. Kau kan juga harus bersikap baik pada calon mertuamu.” Kata Ibuku. Ia memberikan setoples kue kering buatan rumahan. “Kau harus melihat Ibu Jinki memakannya, oke?”

“Oke.” Sahutku. “Dah, Umma!”

Aku keluar dari rumah dan berjalan sebentar menuju halte. Duduk di sana sebentar sembari memikirkan apa yang akan kuceritakan kepada Jinki hari ini. Belum genap lima belas menit menunggu, bus jurusan rumah sakit tempat Jinki dirawat datang. Aku bergegas masuk ke dalam bus dan memilih tempat duduk.

Semilir angin mengembus begitu bus mulai bergerak dengan kecepatan standar. Hari ini sepi. Masih banyak tempat duduk kosong, tidak seperti biasanya. Aku menyandarkan kepalaku ke jendela kaca, dinginnya merambat ke pipiku dalam sedikit waktu. Jika Jinki tidak seperti ini, tentu aku tak perlu duduk di sini dan membiarkan laju bus membawaku ke rumah sakit sendirian. Apabila Jinki bangun seperti biasa dan tersenyum dengan normalnya, aku tak perlu mengorbankan apapun demi dirinya.

Namun, terkadang sesuatu memang tercipta agar kau berani mengorbankan sesuatu. Dan kupikir, sesuatu dalam hal ini adalah Jinki, kekasihku.

Ketika bangunan tinggi rumah sakit yang dicat putih mulai terlihat, aku bangkit dari kursiku dan berteriak kepada supir, memintanya menghentikan bus. Dari sini, aku hanya perlu berjalan sedikit ke rumah sakit.

Aroma obat-obatan dan cairan-cairan apa itu namanya terasa menusuk begitu keriut pintu terdengar. Aku melangkahkan kaki masuk dan mendapati Ibu Jinki tidak berada di tempatnya seperti biasa. Hanya ada Jinki yang tertidur dengan raut wajah tenang, meski ada perban melingkari dahinya. Seharusnya lukanya sudah mengering dan perbannya dapat dilepas karena kejadian itu bahkan sudah berlalu enam bulan lamanya.

Aku meletakkan ranselku di atas nakas rumah sakit atau apapun sebutannya dan duduk di kursi pengunjung. Selimut Jinki terasa lembut dan hangat ketika menabrak permukaan kulitku, seakan-akan sebentar lagi Jinki akan mengagetkanku dengan teriakannya dan cengiran khasnya. Diam-diam, aku menghela napas akan kenyataan bahwa aku hampir melupakan bagaimana rasanya melihat binar senyum Jinki.

“Jinki-a. Apa kau tidak rindu padaku?” tanyaku dengan suara pelan. Aku menggenggam tangannya dan meraba teksturnya, seakan tangan Jinki akan melumer jika aku melepaskannya. “Kupikir aku akan segera melupakan senyummu kalau kau tidak bangun dalam dua minggu ini. Enam bulan tertidur itu bukan waktu yang sedikit, Jinki. Banyak hal sudah berubah. Tempat kerjamu juga begitu. Pak Kang bilang, dia akan menunggumu sampai kau sadar dan tidak akan membiarkan posisimu di sana hilang. Lelaki yang baik, bukan?”

Aku menghela napas. “Jinki-a, aku telah memutuskan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting dalam kehidupanku, dan apabila ini berhasil, sesuatu ini juga akan sama pentingnya di hidupmu.” Lanjutku. Menggigit bibir. “Coba tebak, apa yang akan kulakukan? Membuatmu hidup Jinki! Membuatmu hidup! Bukannya itu sesuatu yang sangat hebat? Menurutku sih begitu. Dan kali ini kau harus setuju padaku karena kalau kau tidak, aku tidak akan mau lagi bertemu denganmu. Kemarin, ada seseorang bilang, kalau kau ingin mendapatkan sesuatu yang kau inginkan, kau harus berani mengorbankan sesuatu. Quote yang sangat hebat, bukan? Karena Jinki-a, aku ingin mendapatkan dirimu kembali, meraihmu lagi.”

Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Jinki. “Dan karena itu, aku mau berkorban, Jinki-a. Menurutmu, apa yang bisa kulakukan? Apakah kau akan setuju jika aku pergi ke pantai dan memandangi laut dalam waktu dua jam? Apa menurutmu itu sesuatu yang bisa disebut pengorbanan, Jinki?” kataku. “Tapi menurutku itu bisa. Karena kau tahu, ‘kan, aku begitu takut kepada laut. Dan menghadapinya sendirian, kupikir aku akan meleleh di sana. Tapi tidak apa-apa, asalkan aku bisa melihatmu lagi, aku akan melakukannya. Aku akan pergi ke pantai, Jinki!”

Pintu terbuka.

“Hai, Bibi.” Sapaku dengan nada riang. “Bibi kelihatan sakit. Apa kau baik-baik saja?”

“Ya.” Ibu Jinki tersenyum. “Apa kau meracuni pikiran Jinki lagi? Kotak apa itu?”

Aku dan Ibu Jinki lumayan dekat, itu mungkin karena aku sudah mengenalnya empat tahun lamanya. Kami tidak merasa canggung satu sama lain. Lagipula, Ibu Jinki dan Ibuku juga sangat dekat.

“Ya, aku membakar pikiran Jinki dengan sihir hitam dan bum! Sebentar lagi Jinki akan meledak.” Aku terkekeh. “Buka saja, Bibi. Ibu menitipkannya padaku dan menyuruhku memberikannya pada Bibi. Jarang sekali lho Ibu membuat kue kering. Rasanya bisa kupastikan, sangat sangat enak!”

Ibu Jinki tertawa kecil dan mengambil toples itu dan membukanya. Ia menyuapkan sepotong kue.

“Memang enak. Katakan pada Ibumu aku sangat berterima kasih.”

“Oke, siap. Dan Bibi, jangan sakit, oke? Beristirahatlah. Telepon aku saja kalau Bibi sedang tidak enak badan. Aku mau sekali kok kalau disuruh menjagai Jinki semalaman.”

“Bibi tidak apa-apa. Mau buah? Tadi ada segerombolan anak kecil yang mengaku sebagai teman Jinki datang ke sini. Bahkan mereka menangis ketika melihat Jinki.”

Aku tertawa, merasa geli membayangkan anak-anak di bawah umur masuk ke kamar rawat Jinki dan membuat heboh, namun juga merasa bahwa akupun begitu. Bahkan, aku menangis lebih sering dan lebih banyak.

“Aku akan mengunjungi mereka nanti.” Ujarku. Jinki sering mengajakku mengunjungi panti-panti, bahkan tak sekali dua kali ia membelikan mereka pakaian dan makanan. Awalnya aku tak begitu suka dengan kegiatan sosial seperti itu, mengingat diriku bukan orang yang mudah bergaul. Tapi bersama Jinki… aku tersenyum mengenangnya. “Bibi pulang dulu saja. Dan tidur, oke? Tenang saja, aku tidak akan mengajak Jinki kawin lari.”

“Tsk, baiklah. Hati-hati, ya. Maaf merepotkanmu terus menerus. Dan jangan lupa sampaikan salamku untuk orangtuamu.”

“Tidak masalah.”

Ibu Jinki memberesi barang-barang bawaannya, kemudian berbalik pergi setelah mengucapkan salam sekali lagi.

“Jinki-a, apa kau senang melihat anak-anak itu menangis? Apa kau diam-diam tertawa dalam tidurmu?” aku merasa geli, namun juga merasa sakit. Mataku menangkap jarum jam bergerak perlahan. “Hari ini, tidurlah sepuasmu karena besok kau harus bangun. Harus.”


“Memangnya kau ini mau pergi ke mana?” tanya Ayahku untuk kesekian kalinya. “Membawa mobil? Kau bahkan tidak pernah mau memakainya meski Ayah tawarkan.”

“Ayolah, Ayah, aku harus pergi sekarang.” rengekku. “Beberapa menit lagi aku akan terlambat.”

“Oh, terserahlah.” Ayah melemparkan kunci mobilnya yang segera kutangkap. “Hati-hati. Ayah tidak ingin polisi menelepon mengabarkan putrinya yang tidak bisa menyetir ini ditemukan menangis di jalan karena tidak bisa memarkir.”

Aku memutar bola mata. “Aku pergi dulu. Sampaikan pada Ibu, ya. Dah, Ayah!”

Kali ini aku siap. Atau, kupikir aku begitu. Aku sudah membawa perlengkapan piknik dan ponselku selalu kupastikan dalam keadaan aktif. Kalau-kalau aku ditemukan tak bernyawa keesokan harinya karena terlalu panik melihat laut.

Kutambah gas dan menarik napas dalam-dalam. Sebentar lagi aku akan menemui tikungan dan kemudian empat ratus meter lagi, aku akan bertemu laut. Sekali lagi, kutarik napas dalam dan merasakan tanganku mulai gemetar.

Tenang. Fokuslah.

Jantungku berdebar kencang ketika mobil memasuki wilayah pantai yang telah selesai dibangun. Aku turun dari mobil dan menenteng tasku. Paling tidak, sampai saat ini, lautnya belum kelihatan. Sempat kakiku menolak melangkah, namun sekali lagi kuyakinkan diriku bahwa aku akan baik-baik saja, serta menekankan bahwa ini hanyalah sesuatu yang akan kutertawakan nanti, bersama Jinki. Mengingat Jinki membuat semangatku membludak, dan dengan mantap aku mulai berjalan.

Suara debur ombak menyambutku. Pantainya sudah terlihat. Aku menarik napas lagi dan melangkah semakin dekat dengan lautan.

Aku tiba di sana.

Langit bewarna biru cerah dan hanya ada sedikit awan. Pasir putih menopang tubuhku yang gemetar parah. Mataku menolak menatap ke depan, menatap sekumpulan air biru yang jernih. Debur ombak terdengar lagi dan rasanya aku ingin menangis. Tasku jatuh begitu saja dan sedikit demi sedikit aku menunduk, menatap lautan buas di depan.

Ayo, jangan menyerah. Tatap terus lautnya. Seakan Jinki berada di sampingmu.

Aku menatap deburan itu. Tubuhku bergemetaran dan keringat dingin mengalir di dahiku. Aku meremas tanganku sendiri dan dengan teguh tetap menatap ke depan.

Kalaupun ini hari kematianku, aku siap menyongsongnya.

Kutarik napas kembali dan kenangan akan Jinki melesat begitu saja, memenuhi otakku. Bibirku berkomat-kamit, memaksa agar aku tetap berdiri tegap dan menahan semuanya. Namun tak urung, ketakutanku bertambah ketika matahari mulai turun. Tampias kuningnya begitu menyala dan aku masih berdiri di sini, sementara suara debur ombak terdengar sangat mengerikan.

Satu jam berlalu dan aku masih tetap berdiri, meski keringat tetap mengaliri sekujur tubuhku. Seakan banyak darah telah tersedot dariku dan sebentar lagi aku akan mati.

Tuhan, aku sudah berkorban. Kau tahu aku begitu takut kepada laut. Aku begitu takut akan suara debur ombak. Tapi aku menghadapinya. Aku tetap menatapnya dan menantangnya. Aku tetap berdiri meski ketakutanku menggila.

Aku tak akan meminta banyak.

Hanya dengan sedikit kekuatan-Mu, Tuhan, kau bisa membangunkan Jinki. Tolong. Dengan segenap hati dan perasaanku, raihlah Jinki dan kembalikanlah ia.

Padaku.

“Hei, nak,” panggil seseorang. Dari samping, aku bisa melihatnya tengah berjalan ke arahku. “Kau kelihatan begitu panik dan ketakutan ketika melihat laut. Tapi kau gigih sekali melihatnya. Memang apa yang menarik dengan laut ini?”

Aku tak dapat menjawab karena tubuhku masih terasa kaku. Kupaksakan senyum sekilas.

Tiba-tiba orang itu menyodorkan sebuah gantungan dimana ada sebuah kerang kering yang digunakan sebagai hiasan.

“Aku membuatnya kemarin. Kerang yang bagus. Kau bisa menggunakannya.”

“Ini untukku? Gratis?”

“Ya, untuk kegigihanmu.”

Aku mengucap terima kasih dan menekan gantungan itu di dadaku.


“Kau darimana saja?!” seru Ibuku panik begitu aku memasuki pelataran rumah. “Ada sesuatu yang terjadi kepada Jinki! Kau ke mana?! Ponselmu tidak aktif!”

Tubuhku yang masih bergemetaran terasa menggelinyar.

“I-ibu, apa yang terjadi pada Jinki?”

“Jangan banyak bertanya. Ayo cepat pergi ke rumah sakit.”

Begitu kami duduk di mobil, aku mulai berpikir pasti ada sesuatu yang buruk terjadi pada Jinki. Bagaimana mungkin ini terjadi? Aku sudah mengorbankan kebahagiaanku kepadanya, aku sudah berdoa kepada Tuhan, aku bahkan memiliki tanda bahwa aku memang melakukan pengorbanan itu—yaitu, gantungan kerang tadi—tapi mengapa? Mengapa ini terasa sangat tidak adil?

Ibuku menyeretku keluar dari mobil begitu mobil terparkir sempurna di rumah sakit. Kami menaiki tangga dan berlari sepanjang koridor. Pasti sesuatu terjadi, dan tanpa sadar air mata mengalir begitu saja.

Kami sampai di depan ruang rawat Jinki, ada Ayah dan Ibu Jinki di depan. Tampak panik dan kurang sadar akan keadaan.

“Sebentar lagi Jinki dioperasi. Ada sesuatu yang salah dengan organ pernapasannya dan keadaannya lumayan parah,” Ibu Jinki memberitahu. “Dokter bilang, tidak ada kepastian apakah Jinki akan baik-baik saja..”

“Ada! Harus ada!” aku sudah menjerit sembari menunjukkan gantungan kerang tadi. “Ini! Aku sudah berkorban dan seharusnya Tuhan mengabulkan permintaanku..”

Beberapa perawat keluar dari kamar Jinki, mendorong ranjang rumah sakit itu. Tapi aku menghadangnya. Kuraih tangan Jinki dalam selimut dan kuletakkan gantungan kerang itu. Hatiku juga terletak di sana.

Semoga berhasil.

Suara keriut ranjang kembali didorong terdengar dan perlahan, tubuh Jinki menghilang dari pandangan.


“Itu sesuatu yang hebat, Umma. Bagaimana mungkin dengan gantungan kerang jelek seperti itu—” Jin Ri menatap gantungan kerang yang sengaja dicantelkan Jinki di ruang keluarga kecil kami. “—bisa membuat Appa terbangun dari tidurnya? Harusnya, Appa bangun setelah Umma cium.”

Jinki tertawa dan mengusap kepala bocah kecil mengesalkan itu.

“Jin Ri-ya, jangan mengganggu Umma-mu lebih lama lagi.” kata Jinki. “Lihat, sebentar lagi akan ada taring mengerikan keluar dari kepalanya dan di bibirnya. Hiiii.”

Aku mencubit lengan Jinki sementara Jin Ri tertawa-tawa dan menunjuk kepalaku.

“Nah, sekarang saatnya kau tidur, oke? Apa Jin Ri mau ketinggalan bus sekolah lagi seperti tadi pagi? Mengesalkan ‘kan kalau Jin Ri harus diantar Appa?”

“Oke.” Sahut Jin Ri dan buru-buru menyelusup dalam selimut tebalnya. “Good night, Mama, Papa.”

Aku mencium kening Jin Ri, dan begitu pula yang dilakukan Jinki. Kemudian kami keluar dari kamar.

“Kau tidak berniat memberiku ciuman di dahi juga? Bagaimana kalau ditukar dengan ciuman di bibir?” goda Jinki sambil memajukan wajahnya.

“Hah, menyebalkan.” Sergahku. “Kau tidurlah, besok skejulmu banyak.”

“Tapi, aku bisa kok membayangkan bagaimana bodohnya kau berdiri di pantai dengan keringat dingin menetes-netes dan tubuh gemetaran,”

“Sudah kubilang keringat itu tidak menetes!”

“Tetap saja, rasanya itu konyol, bukan?”

Aku mendelik sebal.

“Tapi terima kasih.”

“Hn? Untuk apa?”

“Untuk membangunkanku kembali.” Kata Jinki. “Well, meski aku tidak begitu percaya dengan pengorbananmu itu.”

Aku menoyor bahu Jinki dan bergegas akan pergi ke kamar sebelum Jinki menarikku, dan… menciumku.

Night.”

Aku tak bisa berhenti tersenyum dengan bodohnya.

“Have a nice dream.

Jinki merangkulku dan menarikku menuju ke kamar.

Karena, aku tahu sekarang, sekecil apapun pengorbanan yang kau lakukan, pasti menimbulkan sesuatu yang baik.

Karena, Tuhan telah membangunkan Jinki dari tidurnya dan mengembalikannya kepadaku.

Aku tersenyum pada Jinki yang berusaha tidur di sampingku. Kemudian kucium dahinya dan tersenyum dengan konyol.

“Mimpikan aku, ya.”

THE END

A/N:

Halo! Ini nih ff Jinki yang aku janjiin waktu itu akhirnya keluar XD

Lama banget gak update blog ini, dan sekarang juga jarang banget yang baca ff-ku, hehe. Artinya sih para reader aku dulu itu, dia cuman ngefans sama Sooyoung-nya dan bukan tulisanku, jadi sekali aku nulis ff yang pairingnya bukan Sooyoung, mereka gak baca hehe.

Belakangan ini aku lagi seneng-senengnya fangirling BTS, jadi dalam waktu deket-deket ini aku pasti bakal posting FF Taehyung (karena dia calon suami biasku h3h3) Dan moodku emang amburadul banget. UTS baru aja kelar hari sabtu ini dan itu menguras pikiran banget. Jurus belajar-di-angkutan jadi satu-satunya pilihan karena aku terlalu males diem di kamar dan baca buku teks yang nauzubillah tebelnya.

Udahlah cuap-cuap aku. Makasih banget kalau ada yang baca ini ><

Jangan sungkan kritik dan reviewnya ya. Aku tunggu loh ehehehe XD

Thanks a lot! See you next time ((or post XD))

~_~

bepimee

2 thoughts on “[Vignette] A Sacrifice

  1. Halo Mey XD
    Aku tadi baca ff Math, Match, Mate punya kamu di indofanfictkpop eh malah terdampar /apalah/ di sini. Dan asal kamu tau, Jinki itu salah satu bias aku hoho. Jarang ada loh—setau aku sih–ff leader SHINee ini /pukpuk Jinki
    Omong-omong, ff ini manis XD semanis mukanya Jinki *fangirling* aku suka loh interaksi antara Ibunya Jinki sama si OC ini aaaa.
    Hwaiting ya, Mey!
    Aku izin baca ff kamu yang lain ^^

    Like

    1. Halo Yani!
      Ya ampun kok bisa kamu masuk ke tempat ini tapi makasih loh XD
      Dan Jinki itu salah satu korban bully-an aku (liat mukanya yg semacam melas emang gak bisa dilewatin gitu aja :D)
      Semanis aku juga enggak???? /kemudian hening/
      Yap silakan menjelajah dan hati-hati karna fanfik di sini ga ada yang bener XD

      Like

Tell Me Your Wish?  ̄ε ̄)