Take Care of My Girlfriend


cover

Title: Take Care of My Girlfriend

Author: @meydawk

Casts:

-Cho Kyuhyun

Choi Sooyoung

Genre: Romance, Little bit Sad

Rating: Teenager

Length: Longshoot [4146 words]

Disclaimer:

Kesalahan bodoh adalah mengatakan hal itu.

Kesalahan lainnya adalah melepaskannya.

.

.

.

Tentu saja ini hal bodoh. Semua orang pasti menyadari itu begitu melihatku.  Tapi, well, memang begitulah keadaannya. Aku tidak bisa berpikir dengan baik sehingga mau-maunya melakukan hal konyol seperti ini. Andai saja aku tidak melakukan hal bodoh—atau tepatnya, mengatakannya—pasti semuanya tidak seperti ini. Bodoh saja karena aku begitu menyesali hal-hal itu setelah apa yang terjadi. Tentu saja, aku tidak akan bisa mengembalikan semuanya secara utuh. Aku telah menyakitinya. Lantas, apa yang bisa kuharapkan dari seseorang yang telah kulukai? Sambutan hangat? Peluk cium? Dia pasti hanya ingin meludahiku, cuih, tepat di muka. Atau di mulutku, yang telah begitu kasar.

Kembali ke topik awal. Aku harus berkonsentrasi. Jika tidak, aku bisa ketahuan. Dan ketahuan benar-benar hal yang memalukan sekaligus menyedihkan. Tapi mengingat aku bukan seorang detektif keren seperti James Bond, peluang ketahuan adalah 95%. Wow.

“Sedang apa kau di sini?!”

Aku meloncat ke belakang, saking kagetnya dengan suara itu. Aku menoleh dan mendapati sepupuku Jino sedang menatapku bingung. Kacamata minusnya yang menutupi ketampanannya melorot.

“Ssst, diam saja!” bentakku dengan suara pelan.

Jino meringis kemudian ikut berjongkok, sepertiku.

“Jadi seperti ini yang kaukatakan sebagai ‘menjadi peneliti keren’?”

Aku nyengir.

“Memata-matai mantanmu? Orang yang kauputuskan?”

“Jangan mengingatkanku lagi.” sergahku. “Karena aku akan marah.”

“Ya, sorry.”

Kami bertahan dalam posisi itu sampai kursi paling belakang kantin itu kehilangan penghuninya. Aku bangkit berdiri kembali, merasakan kakiku seperti digigiti semut—sial, kesemutan.

“Oh, lihat! Pacarmu sudah punya gandengan!”

Aku melirik Jino dengan kesal. Bagaimana mungkin aku punya sepupu secupu dan selugu dia?! Aku mendengus saja dan tidak menjawab, karena percuma saja mengatakan sesuatu kepada orang seperti Jino, hanya membuat kesal saja.

“Dengar, ini kelihatan konyol. Kakek kita pasti akan menyabet kita dengan sabuknya jika kita ketahuan sedang mengintipi seorang perempuan yang sudah punya pacar baru, yang dulunya kau putuskan.”

“Diam, bodoh.”

“Well, aku tidak bodoh.”

“Ya, terserah,”

“Aku masuk kelas unggulan. Aku ranking dua.”

“Aku ranking satunya.” Aku memutar bola mata dan mulai berjalan pergi. “Jangan katakan ini kepada siapapun. Atau aku akan membunuhmu.”

***

“Oke, cukup, kau sudah kelihatan sangat tampan.” Ujar Sooyoung sambil mengayunkan dasi di kemejaku. “Ayahmu pasti tidak menyadari bahwa ini kau.”

Aku nyengir. “Dan Sooyoung? Kau memaafkanku karena tidak bisa menemanimu ke rumah nenekmu, kan?”

“Lupakan saja. Aku bisa pergi naik bus.”

“Bagus. Aku agak khawatir sebenarnya. Bagaimana kalau kau menumpang saudaramu saja?” tawarku.

“Mungkin itu ide bagus. Aku akan menanyakannya pada pamanku.”

Aku mengangguk.

“Baik, kau sudah siap. Kau bisa pergi. Aku akan menemanimu sampai ke depan.”

Dia berjalan di sampingku sampai di depan mobilku. Aku masuk, dia tidak.

“Menurutmu, apakah ciuman diperlukan sekarang?” tanyaku.

Sooyoung tersipu. Tapi dia mendekatkan wajahnya, dan aku menciumnya.

“Oke, aku pergi, jaga diri!”

Baiklah, tentu saja aku mengkhayalkannya. Tentu saja adegan seperti di atas itu tidak nyata. Aku sudah menyakitinya, dan kami berakhir, sudah selesai. Aku mengerut karena menyadari itu pasti yang kami lakukan sebelum aku berangkat ke kantor baruku. Tapi tentu saja kami tidak melakukannya. Taruhan, pasti dia sedang mencumbu calon pacar barunya—alias sahabatku sendiri—di tempat lain. Ha! Itu lumayan menyedihkan juga.

“Tuan Cho?”

“Eh, ya?”

“Aku melihat Anda melamun. Sekedar informasi saja, Anda sudah boleh masuk sekarang.” kata perempuan itu dan dia mengerling menggodaku. Oh ya, sekedar informasi saja, dia tidak terlihat mengerling, dia terlihat kelilipan.

Aku mengabaikan perempuan itu, hanya mengangguk sekilas dan langsung masuk ke dalam ruangan calon bosku.

“Hai, Kyu, kau kelihatan berkelas sekali!” seru anak dari bosku itu, teman semasa kuliahku dulu sambil tertawa. Aku ikut tertawa, meski kedengaran malas dan bosan. Aku melihat sebuah pintu dan sekretaris calon bosku menunjuk pintu itu.

“Buka saja, dia ada di dalam.”

Aku membuka pintu.

“Sudah kuduga kau akan datang.” Kata pria paruh baya itu. “Aku benar-benar tersanjung.”

“Tentu saja, Pak. Ini kesempatan yang tak bisa kulewatkan begitu saja.”

“Ya, tentu saja begitu. Aku sangat menyukai hasil bidikanmu.”

“Terima kasih. Itu belum seberapa ketimbang hasil bidikan Anda.”

“Ah, kau merendah.”

Pria paruh baya itu mengeluh sedikit dan dia kemudian menatapku. “Kurasa kau akan cepat beradaptasi di sini.”

Aku hanya diam.

“Yap, mulai besok kau bisa bekerja. Ketentuan dan persyaratan akan dilampirkan di kliping penerimaan yang akan diberikan oleh sekretarisku.”

“Ya, terima kasih, Pak.”

“Baiklah, mungkin putriku bisa mengantarmu berkeliling. Dia sangat mengagumimu.” Katanya dan dia menatap arloji. “Putriku bilang akan tiba dalam lima belas menit. Berarti dua menit dari sekarang.”

Aku memilih tidak mendengarkan ucapannya. Lagipula, aku tidak berminat dengan putri-putri bos perusahaan seperti ini. Mereka biasanya manja dan menyebalkan. Tapi aku teringat kepada Sooyoung.

Dia bukan tipikal perempuan manja atau menyebalkan atau pemarah. Dia terlalu sabar, dewasa, dan pengertian meskipun tingkahnya kadang-kadang membuatku malu. Tapi itu bukan masalah besar.

Dari pada memikirkan Sooyoung yang sekarang adalah mantan pacar yang harus segera kulupakan, aku memilih memandangi ruangan ini secara mendetail. Lumayan bagus dan rapi juga, mengingat biasanya seniman tidak memiliki sisi kerapian. Tapi omong-omong, apa fotografer bisa disebut seniman? Entahlah. Mereka sejenis, tapi sekaligus berbeda.

Aku menatap lukisan yang dipajang berderet di dinding. Ada salah satu yang menyita perhatianku—

“Oh, lihat ini, putriku sudah datang!” seru pria paruh baya itu dengan ceria, dan aku mengalihkan pandangan. Putri bosku tidak nampak, itu karena tubuh bosku menutupinya (ia sedang memeluk putrinya seolah sudah tidak bertemu berjuta-juta tahun lamanya). “Oh, maaf, aku terbawa suasana.” Pria itu tersadar bahwa aku sudah sangat kesal. Dia berbalik, tapi masih menutupi putrinya itu.

“Baiklah, jadi bisakah putri Anda segera menemani saya berkeliling?”

Tapi kemudian aku kehilangan kata-kataku ketika Sooyoung meloncat dari belakang bosku. Dia tampak dewasa dan ceria dalam setelan rok selutut lengan panjang motif bunga hitam dengan kain dasar bewarna putih. Rambutnya dikuncir satu tanpa menyisakan poni.

“Hai, Kyuhyun!” seru Sooyoung. Lewat pandangan matanya, aku tahu bahwa dia menyuruhku untuk bepura-pura tidak saling mengenal. Aku setuju saja.

Sooyoung mengajakku keluar ruangan dengan sikap tubuh santai, seolah aku bukan siapa-siapanya. Sementara aku bertanya-tanya sudah sampai di manakah hubungannya dengan sahabatku itu.

“Jadi, aku menjadi tour guide-mu.”

“Ini bukan tour.” Aku menyangkal, dan agak merasa senang karena berbicara dengannya. Ingat tidak tentang aksi ‘penelitan keren’-ku? Agaknya, ini perkembangan yang sangat pesat. Aku akan memberitahu Jino nanti.

“Ya, memang bukan. Tapi nyaris.”

Aku mengangkat bahu.

“Jadi Ayahmu adalah pemilik perusahaan fotografi ini,” kataku. “Hebat karena kebetulan sekali kita bisa bertemu di sini. Dengan kau yang menjadi tour guide-ku.” Aku tidak menyangka kata-kataku terdengar penuh sinisme dan sarkastik.

“Tidak juga, aku sudah tahu kau melamar di sini.”

“Jadi apa kau yang menyarankan Ayahmu untuk menerimaku?”

“Tentu saja tidak,” sangkalnya. “Buat apa?”

Aku tertohok oleh kalimat itu.

“Anggap saja ini seperti kebetulan.” Aku sebenarnya ingin menambahi dengan ‘menyenangkan’. Tapi lidahku terlalu kelu untuk mengatakannya. “Aku senang bertemu denganmu. Apa kau tidak keberatan minum kopi bersama?”

***

Jam berikutnya, aku sudah duduk di salah satu Starbucks di dekat kantor tempatku bekerja. Dengan Sooyoung di depanku.

“Kudengar kau dekat dengan Changmin.”

“Ah, ya, bukannya dia sahabatmu semasa kuliah? Dia sangat menyenangkan.” Jelasnya dengan ceria. Aku menatap matanya, dan aku tahu bahwa dia berkata jujur bukan untuk membuatku cemburu, tapi memang begitulah kenyataannya. Aku jadi merasa tertohok lagi. “Tapi…”

“Kopinya datang,” kataku tanpa keinginan mendengarkan kelanjutan kalimatnya lagi. aku menggeser cangkirku ke bagianku sendiri dan pelayan meletakkan piring-piring mungil berisi makanan pembuka/penutup.

“Jadi, bagaimana?” tanyaku setelah menelan kueku dengan pelan.

“Bagaimana apanya?”

“Hubunganmu dengan Changmin.”

Dia mengangguk dengan terlalu tenang.

“Aku bertanya kepadamu, untuk mendapatkan jawaban, bukan hanya anggukan.”

“Kau masih seperti dulu saja.” katanya. “Bukankah kau perlu berlatih berbasa-basi?”

“Buat apa?” aku meniru kata-katanya tadi. “Tidak penting juga.”

Dia menarik napas dalam.

Aku mengikutinya. “Hei, Sooyoung?”

Dia mendongak.

“Kau ingat apa yang kukatakan padamu waktu itu?” tanyaku. “Maafkan aku karena mengatakannya.” Seharusnya aku menambahi, dan masih adakah perasaanmu untukku? Masih adakah segores namaku di hatimu? Tapi aku tidak melakukannya, karena kupikir ini sudah terlalu telat. Tak ada lagi kesempatan untukku.

“Ya, aku sudah melakukannya tanpa kau minta. Tapi kau benar juga, aku memang terlihat seperti yang kau katakan.”

“Tidak, tidak! Aku hanya terlalu kesal, well, marah juga. Tapi itu semua tidak benar! Kau bisa pegang ucapanku.”

“Sepertinya aku ingin pulang saja.” katanya.

“Aku akan mengantarmu.”

“Tidak perlu. Changmin akan menjemputku.” Dia bangkit dan melambai, dan wajahnya terlihat letih.

Aku berpikir untuk mengundurkan diri dari pekerjaan baruku saja jika itu membuatku tersakiti lebih.

***

Oh, well, ya. Ya, benar sekali. Changmin memang sahabatku. Dan dia bertingkah oke juga. Dia berhasil membuat Sooyoung berpaling dariku. Itu kedengaran keren sekaligus menyedihkan, menyebalkan, menyakitkan.

Jadi sekarang mereka begitu dekat. Sekarang hubungan mereka tidak seperti kakak-adik lagi. Changmin baik, keren, pintar, dan yang terpenting, dia tidak akan pernah menyia-nyiakan Sooyoung seperti aku menyia-nyiakannya.

Bersama Changmin, Sooyoung akan bahagia. Bersamanya, Sooyoung akan menjadi seorang perempuan yang paling beruntung di dunia. Sekarang, tidak ada lagi yang namanya kesedihan karena putus denganku. Changmin sukses merebut hati Sooyoung.

Sekarang tiada lagi kesempatan untukku mendekatinya.

Sekarang yang bisa kuharapkan hanyalah Changmin memiliki sifat buruk dan menunjukkanya sekali saja, sehingga bisa membuat Sooyoung kembali sendirian. Tapi bukannya itu agak jahat? Lagipula, aku sudah mengakhiri hubunganku, jadi resminya, Changmin tidak merebutnya. Dia membantunya lepas dari diriku. Dan Changmin berhasil. Hm, oke. Aku merasa seperti punya dua wajah. Di sisi lain, aku masih sering berkomunikasi dengan Changmin—dan semuanya berjalan normal saja, aku dan dia tetap sahabat baik, tapi di sisi lain, aku sangat ingin menonjok wajah Changmin, menyerukan keras-keras bahwa sekuat apapun dia berusaha, Sooyoung akan tetap jadi milikku.

Tapi tentu saja itu tidak kulakukan.

Aku merasa perih ketika hatiku tiba-tiba membisikkan, tolong katakan tidak pada Changmin, Soo. Buat dia menjauh sehingga kita bisa bersama kembali.

Say no no no no no no no no no no no no no no no no no no no

Say no no no no no no no no no no no no no no no no no no no no no no

No.

NO!!!!!!!!!!!

***

Hari pertama liburan!

Sudah sejak pagi Jino nongkrong di rumahku. Dia sudah berada di kasurku dan memainkan play station-ku dengan kemampuan 0% dan memakan keripikku. Tapi aku terlalu malas membuka mata dan membentaknya. Jadi aku membiarkannya asal dia tidak membuatku terbangun.

Tapi setelah tertidur selama sepuluh jam penuh, akhirnya aku bangun dan memutuskan mandi.

“Ha! Akhirnya kau bangun juga! Aku sudah memikirkan strategi keren untuk membangunkanmu.” Seru Jino.

“Tidak, terima kasih.” Kataku dan langsung membanting pintu kamar mandi.

Saat aku mengaca di wastafel, aku melihat rambutku sudah sangat tebal dan panjang. Dan mataku terlihat bengkak dan hitam. Tentu saja aku tidak menangis, aku hanya terlalu sering lembur karena mengerjakan proyek foto ‘Inner Beauty’ yang sudah lama kugeluti sejak sebulan yang lalu, setelah tanpa sengaja melihat Changmin dan Sooyoung berjalan-jalan bersama. Dan ketika Sooyoung tersenyum, aku merasa seperti panah kecil namun sangat lancip menusukku. Langsung di ulu.

Lima menit, aku selesai mandi. Aku mengenakan kausku dan celana jins, lalu memakai sepatu kets.

“Kau mau ke mana, Kyu? Sudah terlalu siang untuk lari pagi.”

“Aku tidak mau lari pagi, bodoh. Jangan sok tahu.”

“Biasanya aku selalu tahu.”

Aku mengabaikannya dan langsung keluar dari apartemenku.

“Eh, Kyu, nanti setelah pulang, bawakan aku makanan, ya!”

Aku mendengus saja.

Aku masuk ke dalam mobil dan menyingkirkan boneka pooh di dasbor. Itu punya Sooyoung, yang dia tempelkan untuk membuat mobilku sedikit lebih ceria, katanya. Aku sudah melakukan penelitian secara intensif minggu ini, dan lewat penelitian itu, aku tahu bahwa Sooyoung dan Changmin akan berkencan.

Aku ingat percakapan mereka. Sedetail-detailnya malah. Ini terjadi ketika aku menghabiskan waktu untuk makan siang yang terlambat dan tanpa sengaja mereka juga sedang makan. Jadi aku merepet ke meja mereka dan mendengar percakapan mereka. Bersyukurlah karena mereka terlalu sibuk dengan teman kencan masing-masing sehingga tidak menyadari penguping yang tidak diharapkan ini.

“Jadi, Sooyoung, menurutmu, apakah menyenangkan melakukan kencan akhir minggu ini sekaligus hari libur pertama?” tanya Changmin setelah berbasa-basi tentang rencana liburan rekan kerjanya. Aku tahu bahwa Changmin tipe yang suka berbasa-basi, dan sebenarnya aku agak iri dengan keterampilannya menggaet wanita.

“Cukup keren.” Kata Sooyoung sebagai jawaban. Kemudian mereka menetapkan tanggal dan jam.

Jadi mereka berencana untuk makan siang di kafe Chateau di dekat-dekat sini. Kemudian mereka akan melanjutkan tur mereka ke pasar malam yang diadakan setiap hari awal liburan. Itu pilihan yang bagus. Mungkin itulah sebab mengapa Changmin berhasil menggaet hati perempuan manapun. Kurang-lebih, aku memang iri kepadanya.

Aku sampai di kafe yang dimaksud. Malah terlalu cepat. Jadi sementara menunggu mereka, aku memesan paket sarapan.

Selesai masakan dihidangkan dan aku mulai menyantap makananku, bel yang terpasang di pintu kafe berdenting, tanda ada seseorang yang masuk. Aku menatap ke arah pintu, melihat Sooyoung dan Changmin masuk dan duduk tepat di depanku, membelakangiku.

Aku tetap menyantap makananku, dan memasang telingaku untuk mendengarkan percakapan mereka.

“Hari yang indah, ya,” kata Changmin, terdengar bahagia dan ceria. Suara Changmin bagus, menurutku. Mungkin itulah sebabnya dia merekam suaranya sendiri untuk menyatakan cintanya pada mantannya dulu. Mungkin dengan cara itu juga, Sooyoung akan berpaling kepadanya.

“Lumayan. Kau mau pesan apa?”

Aku senang dengan jawaban Sooyoung. Dia pasti tidak terlalu memperhatikan nada suara Changmin yang terdengar sangat menggebu-gebu tadi.

“Aku mengikutimu saja.” Sahut Changmin. Itu pasti strategi. Dia membuat perempuan tersanjung dengan meletakkan pilihan di pundaknya. Wow, strategi itu terlalu pasaran dan mudah dibaca. Dan aku berharap Sooyoung menyadarinya.

Selanjutnya, mereka membicarakan hal yang tidak penting. Sementara aku berusaha memotret wajah Sooyoung. Kemampuan memotret ‘diam-diam’-ku sangat bagus, sehingga Sooyoung tidak pernah menyadarinya. Bahkan pengunjung lain juga tidak.

Satu jam berikutnya, kelihatan sekali gelagat Sooyoung bahwa dia bosan. Kemudian mereka menyudahi pembicaraan, Changmin membayar bon, kemudian mereka pergi. Setelah terdengar bunyi ting, aku beringsut ke kasir.

Ternyata Changmin tidak langsung ke pasar malam. Sekarang mereka ke taman yang super duper ramai. Itu memudahkanku melakukan memotret diam-diamku. Semakin banyak foto Sooyoung yang kudapatkan, semakin cepat proyek foto ‘inner beauty’-ku selesai.

Tapi ketika mereka saling bergandengan, aku merasa hatiku tidak baik-baik saja. setengahnya merasa terluka dan setengahnya telah retak. Aku merasa tidak benar.

Kembali hatiku berbisik, no no no no no no no.

Beberapa detik kemudian, aku hanya dapat melihat mereka berciuman.

Aku mengakhiri pengintaianku.

***

“Jadi bagaimana? Mereka sudah pacaran belum?” tanya Jino begitu aku meletakkan kameraku di meja.

“Tidak tahu.” Kataku dengan lesu. “Menurutmu bagaimana?”

“Kenapa kau tanya padaku? Siapa yang mengintai pasangan itu seharian ini?”

“Aku tidak menyelesaikan pengintaianku.”

“Kenapa?”

Aku ingin mengatakan, karena hatiku terlalu sakit untuk melanjutkan. Karena bisa saja Changmin mencium Sooyoung lagi lagi lagi dan lagi sementara aku memandang di balik mereka, dengan hati remuk perlahan-lahan. Tapi aku tidak akan mengatakannya. Menjadi lemah di hadapan siapapun terdengar menyedihkan. Jadi aku tidak menjawab, hanya mengibaskan tangan dan menyambar kameraku kembali, masuk ke dalam kamar.

“Hei, Cho Kyuhyun! Kau belum menjawab pertanyaanku!”

Sunyi beberapa saat.

“Dan kau juga melupakan pesanku!”

“Apa?” aku ikut berteriak.

“Mana makanan pesananku?!!”

***

Lumayan. Aku sudah menghabiskan sembilan gigabyte dalam komputerku hanya dengan foto-foto Sooyoung dari sejak kami berpacaran, sampai pengintaianku. Ada banyak macamnya. Kebanyakan foto Sooyoung kuambil ketika dia tidak menyadarinya. Efeknya lebih dramatis dan natural, menurutku.

Aku mulai menyusunnya menjadi beberapa bab dan dengan tulisan cerita yang terdengar konyol. Aku lembur dua hari belakangan hanya untuk menyusunnya. Karena sekedar informasi saja, sembilan GB itu tidak sedikit.

Aku mengklik sebuah ikon foto, foto Sooyoung ketika dia menangis di taman belakang rumahnya. Dia tidak sadar telah kupotret. Aku membukanya, dan memandangi wajah sedih itu dalam-dalam. Kira-kira, apakah Sooyoung menangis seperti ini ketika hubungan kami berakhir? Aku memutuskan menambahkan teks di bawah foto itu, ketika kau menangis, dunia ini seolah runtuh.

Aku tersenyum sendiri merasa betapa konyolnya kalimat itu. Tapi aku tidak menghapusnya, aku membiarkannya ada. Aku membiarkannya tetap seperti semula, seperti aku membiarkan perasaanku semakin tumbuh.

Lama kemudian, pikiranku kembali ke masa-masa dulu. Ketika aku bertemu dengan Sooyoung, ketika kami akhirnya jadian, ketika kami hampir masuk jurang karena aku yang tidak bisa berkonsentrasi hanya karena ada gadis cantik di sampingku, ketika aku mengatakan hal-hal konyol menyakitkan kepadanya, dan ketika segalanya berakhir. Aku sangat menyadari bahwa ini semua memang salahku. Bukan salah Sooyoung jika setelah ini dia membalaskan karmanya kepadaku.

Sekarang pandanganku jatuh di foto Sooyoung ketika duduk membelakangiku, dengan Changmin di hadapannya, di kafe itu. Aku menuliskan sebait kalimat: Sekarang, apakah perasaanmu juga sama dengan ini? Apakah aku hanya akan bisa melihatmu dari belakang? Kemudian aku mengakhiri proyekku dengan foto Sooyoung dengan diriku, dengan tambahan teks: Jika kau mau kembali kepadaku, hanya satu yang perlu kau lakukan; tinggalkan dia.

***

“Kau membuat proyek foto anakku?!” seru Tuan Choi, bosku sambil berkacak pinggang. “Jadi selama ini kau pacaran dengannya dan menyakitinya?!”

“Maafkan aku.”

“Kau dengar aku, aku ingin sekali menendangmu sekarang juga! Mungkin itulah sebabnya kenapa putriku menangis sambil berlari masuk rumah kami! Dengar, Nak, aku benar-benar kecewa denganmu.”

Kepalaku pusing. Aku mulai sadar bahwa ada 80% peluang untukku dipecat. Dan aku siap.

“Tapi, Nak, aku juga bangga padamu.”

“Ha?”

“Kau berani membuat proyek ini sendirian, berusaha kembali merebut putriku, tidak seperti aku.” Kata Tuan Choi dan aku melihat dia seperti menangis. “Aku gagal mempertahankan ibunya.”

Aku mengangguk. Tahu bahwa dulu juga Sooyoung pernah bercerita bahwa orangtuanya bercerai ketika dia kecil. Dan hak asuh jatuh kepada ayahnya, yang kaya raya dan sangat baik.

“Jadi, Nak, berusahalah dengan keras untuk mempertahankan cintamu. Aku mendukungmu.” Tuan Choi membersit hidungnya. “Aku akan memberimu galeri di jalan utama. Kau akan suka.”

Aku mengangguk senang, tersenyum dan ingin sekali berlari memeluk Tuan Choi saking baiknya dia.

“Terima kasih, Tuan. Saya sangat—”

“Menurutku kau harus bertindak cepat. Sebelum siapa  itu namanya, Chang-siapa-itu merebut putriku.”

Kata-kata no no no no no no no kembali menggeliat di otakku.

Aku pamit dan langsung berlari keluar.

Aku siap, Soo, bahkan dengan kemungkinan kau akan menolakku kembali. Selalu ada rencana A, B, C, dan seterusnya.

***

Ketika aku terbangun setelah tidur selama dua jam saja, aku teringat kalimat Tuan Choi dulu ketika aku melamar kerja dan Sooyoung bertindak sebagai tour guide-nya: “Baiklah, mungkin putriku bisa mengantarmu berkeliling. Dia sangat mengagumimu.”

Kalimat itu terngiang di kepalaku, membuatku lebih semangat mengerjakan ini. Aku telah menyusun semuanya dengan baik. Pameranku yang pertama.

Meskipun aku tahu tak banyak yang akan datang  ke pameranku, setidaknya aku berhasil memaksa Sooyoung, kedua orangtuaku, Jino, kakakku yang bawel, temanku semasa kuliah dan SMU—tak terkecuali Changmin, dan kerabat-kerabat dekatku yang berada di Seoul.

Pagi ini, aku telah siap melanjutkan semuanya. Memasang pigura-pigura besar berisi potret itu, mengisi kolom kosongnya dengan printout teks sok-romantis itu, dan lain-lain. Tapi begitu aku sampai di pamerannya, semuanya telah terpasang rapi, dan aku tidak perlu melakukan hal lainnya.

“Bagaimana? Kerjaku bagus, kan?” kata Jino sambil berjalan ke arahku dan tersenyum lebar. “Wow, aku tidak menyangka bakat memotretmu sebagus ini. Kukira kau sama saja denganku.”

Aku mencibir.

“Omong-omong, kau tidak mengucapkan terima kasih kepadaku?”

***

Galeri mulai ramai sejak setengah jam yang lalu. Meskipun pameran belum dimulai. Aku berusaha menenangkan diriku. Sooyoung pasti datang, kan? Mungkin dia hanya sedang terkena macet. Mungkin dia sakit perut tiba-tiba, dan akan tetap datang, meskipun terlambat. Atau.. mungkin saja dia sudah terlalu bosan denganku. Dia tidak mau lagi bertemu denganku, apalagi melihat pameranku, meskipun ini untuk yang pertama kalinya.

Ayahku menepuk bahuku, tidak mengerti mengapa ruangan masih gelap—tentu saja. Potret dari proyekku itu baru akan terlihat ketika lampu menyala. Dan aku tidak mau memulai pameran ini, sebelum Sooyoung datang.

Sudah satu jam. Aku menarik napas pelan, berusaha meredakan kekhawatiran yang terasa begitu nyata ini. Aku hanya mendengus ketika pamanku memaksaku untuk segera memulai pameran ini.

“Kenapa kau tak segera memulainya?” tanya Ibuku dan dia tampak tidak mengerti.

Aku mengangkat bahu, tidak tahu harus menjawab apa.

Pintu galeri terbuka tiba-tiba, dan di sanalah bosku, dengan putrinya; orang yang kutunggu-tunggu sejak tadi.

Aku tidak tahu harus mengatakan apa untuk menyambutnya. Aku hanya memberi kode kepada petugas lampu—atau apalah sebutannya—untuk segera menyalakan penerangan dan membuat orang-orang bisa melihat hasil karyaku, proyekku untuk seseorang yang kuharap mengatakan ‘ya’.

Lampu menyala perlahan-lahan, ruangan terang namun belum terlalu benderang. Potret-potret itu seperti bercahaya. Tampias cahaya matahari menghilang begitu saja. Lampu pertama menyorot potret pertama—potret foto ketika Sooyoung sendirian dan menanti seorang temannya, kuambil satu setengah tahun yang lalu. Lampu itu seolah bergerak turun, menyorot teks yang tertulis di bawah itu. Begitu terus menerus, sampai semua potret tersorot.

Aku tidak mampu untuk menatap wajah Sooyoung barang sejenak. Aku tetap menunduk dan duduk di belakang meja, membuatku kasat mata.

Ketika semua lampu menyala, dan potret-potret itu terlihat seluruhnya, aku keluar dari tempat persembunyianku. Aku melangkah mendekati bosku.

“Sooyoung sudah pergi, Nak.” Kata Tuan Choi sambil memandangiku.

Aku tidak mengerti mengapa dia pergi. Apa karena dia sudah muak denganku, dan merasa jijik dengan apa yang kulakukan? Apakah segala perasaan itu telah hilang? Aku tak yakin, tapi juga tidak meragukannya.

Mungkin Sooyoung sudah mengatakan ‘ya’ kepada Changmin. Maka tiada harapan lagi untukku.

Aku menoleh ke segala penjuru, tidak ada Changmin di sini.

Mereka sudah pergi. Bersama.

***

Sekarang aku mengerti.

Aku tidak mau mengharapkan banyak hal lagi tentang hubunganku dengan Sooyoung. Bukannya dulu Sooyoung pernah memberitahuku bahwa seseorang yang telah menyakitinya, tidak pantas mendapatkan hatinya lagi? Mengapa aku sebodoh ini?

Dalam setiap hela napasku, aku merasakan hatiku runtuh perlahan-lahan. Aku bahkan hampir menangis. Tapi tetap saja, meski tubuhku terasa kebas, aku tetap mengingat Sooyoung. Aku tetap merasakan tentang kehadirannya dulu, di hatiku. Aku tetap membayangkan diriku berada di sampingnya sekarang. Tapi kemudian aku sadar, ini konyol. Putus cinta bukan akhir dari segalanya.

Aku hanya bisa menertawakan bisikan hatiku, bisikan yang menyuruh Sooyoung untuk mengatakan tidak pada Changmin. Yang ternyata tidak berhasil. Mereka pasti sudah bersama. Itu pasti terjadi. Aku tidak melakukan apapun sejak dua hari yang lalu, aku hanya memilah-milah hatiku; menyimpan yang masih utuh, dan membuang yang telah hancur.

***

Ini hari ketujuh aku tidak keluar dari apartemenku. Persediaan makananku masih banyak, masih sangat mencukupi. Aku mengabaikan semua bel dari luar. Aku mengabaikan orangtuaku, Jino, teman-temanku. Bahkan aku mengambil cuti sementara karena sakit dari perusahaan. Tuan Choi memakluminya. Tapi aku tidak hanya berpikir untuk cuti, mungkin lebih baik aku keluar saja dari perusahaan itu.

Tapi hari ini ada bel lagi, ketika aku sedang mencuci piring, karena persediaan piring dan alat makan lain sudah habis. Aku tidak berniat untuk sekedar melihat interkom, apalagi membukakan pintu. Aku hanya melanjutkan kegiatanku dan menulikan telinga.

Kali ini, terdengar suara teriakan dan seruan dari depan. Aku masih berusaha menulikan telinga. Tapi teriakan kali ini terdengar familiar. Aku mematung.

Itu suara Sooyoung. Aku yakin itu.

Tapi memangnya, untuk apa dia ke sini? Untuk melihat bahwa aku hancur karena penolakan tanpa kata-katanya? Apa dia hanya ingin memintaku mengucapkan selamat kepada Changmin karena telah berhasil merebutnya dariku? Itu terdengar menyedihkan. Dan aku tidak ingin membukakan pintu.

Lima menit sesudahnya, kali ini gedoran di pintu yang terdengar. Aku mulai bosan. Otakku yang terlalu jenius langsung menyusun alasan-alasan penuh kebohongan untuk dikatakan apabila Sooyoung memang benar-benar hanya ingin memamerkan kemesraannya di hadapanku.

Detik berikutnya, aku membuka pintu.

“Syukurlah kau baik-baik saja!” seru Sooyoung sambil memelukku dengan tiba-tiba, sehingga alasan-alasan yang telah kususun berjatuhan di lantai koridor apartemenku begitu saja. Dia memelukku cukup lama, sampai kemudian dia melepasku. “Kutanya kau, apa kau baik-baik saja?”

“Menurutmu bagaimana?” tanyaku balik. Well, aku jauh dari baik-baik saja.

“Kau agak terlihat menyedihkan.”

Aku mengangkat alisku, ingin mengatakan, aku kelihatan menyedihkan karena siapa? Tapi aku menahannya, karena itu bukan kalimat yang pantas diucapkan.

“Aku melihat proyek yang kau kerjakan.”

“Ya, kupikir aku melihatmu.”

“Agak menyedihkan.”

“Memang.”

“Tapi aku senang melihatnya.”

“Ya?”

Dia mengerutkan keningnya padaku dan menarik napas.

“Apa kau melihat potret terakhirnya? Cerita terakhirnya?” aku menanyakannya sambil menahan napas-napas, takut-takut jika Sooyoung melakukan hal yang tidak kuinginkan.

Dia menghela napas, “Ya, tentu saja,”

Aku ikut menarik napas. “Lalu bagaimana jawabanmu?”

Sooyoung memandangku sungkan, dan tampak bingung. Dia agak terlihat sedih dan seperti putus asa. Kemudian dia menggeleng.

“Tidak usah datang kemari lagi.” kataku tegas dan langsung membanting pintu di hadapannya.

Hatiku berjatuhan dan remuk di sepanjang gang koridor apartemenku. Tergeletak.

***

“Hei, man, kau tahu ini sangat konyol. Mau sampai kapan kau bermain petak umpet dengan Sooyoung?!” seru Jino dengan nada sok bijaksana.

Aku memandangnya dengan tatapan kosong.

Man, aku tahu kau patah hati. Tapi bukannya ini sudah jalannya? Kau ini jenius dan tampan. Kenapa kau tidak menggunakannya untuk menggaet perempuan lain?”

Aku menahan keinginan untuk menjitak kepala Jino keras-keras.

Detik itu juga Jino menyalakan radio dan mengalunlah lagu milik B2ST, Take Care My Girlfriend.

“Wow, wow, bukannya lagu ini benar-benar menjiwaimu?!” seru Jino sambil mengangguk-angguk, berusaha mengikuti lagu itu.

Aku juga berpikir begitu. Tapi aku tidak mau mengakuinya. Bisa besar kepala dia.

“Sudahlah, pulang saja. Jangan urusi aku lagi. Aku akan segera mengirim surat pengunduran diri.”

“Kau mau mengundurkan diri?!”

Aku memandang kosong.

Apa kau tidak melihat seberapa seriusnya aku mencintaimu?

 

***

“Akhirnya aku menemukanmu!” seru Sooyoung di depanku sambil meloncat-loncat seperti anak kelinci. “Kau salah sangka! Bukan seperti itu maksudku!”

“Apa maksudmu?”

“Aku bukan mau mengatakan kalau aku ingin meninggalkanmu!” serunya dengan terengah-engah. “Dari dulu, aku tidak pernah memiliki hubungan apapun dengan Changmin! Dan karena itu, tidak ada siapapun yang harus kutinggalkan!”

Aku mematung. Benarkah itu? Kedengarannya seperti mimpi saja.

“Aku sungguhan!” seru Sooyoung lagi seolah tahu arti pandanganku.

Tidak tahu mengapa, aku hanya bisa menggerakkan lenganku dan memeluknya.

Oh, well, sekarang Sooyoung resmi jadi milikku lagi. Otakku mengirimkan sinyal nada dari potongan lagu B2ST yang pernah kudengar itu.

Well, I will take care my girlfriend.

-fin-

.

.

.

Konyol aneh alay malesin! Ini ff terhancur!!

Uhuk, hula semuanya!! Udah lama banget saya gak post ya, padahal di rumah nganggur aja dan ff ini pun udah jadi dari tahun lalu (Desember maksudnya. Tapi tetap bisa diartikan tahun lalu kan? hehe)

Ini ff ga sad end kan? padahal emang awalnya aku pen bikin ini jadi sad end –” tapi yaudahlah tahun baru cerita baru (?) jadi aku rubah jadi kek gini hehe, makanya endnya terkesan ngegantung dan alay.

Liburan udah tinggal 2 hari doang ini. Liburan 2 minggu rasanya kek 2 hari ya, cepet banget! Di rumah juga gak ngapa-ngapain, palingan pegang hp/pc; main rp + baca ff + liat drakor -_- liburan yang sangat menyenangkan

Cukup cukup ini curhatan terpanjang -_- terakhir nih:

happ

Oke, see u soon!

sooo

51 thoughts on “Take Care of My Girlfriend

  1. Agak bingung sama hubungan kyuyoung dan hadirnya changmin..
    Apapun itu, endingnya kyuyoung happy! Waaa 😀

    Like

  2. Sempet dag dig dug pas endingnya, dikira sad end..
    tp ternyta…

    Yeay, happy ending..
    daebak chingu..
    seru, keren
    😉

    Like

  3. ku kira “nggak” nya soo unnie itu nolak , ternyata dia blm jelasin mksdnya ,, kyu oppa juga cpet” usir soo unnie XD

    Like

  4. aaa sedih , tiba2 kebayang changmin itu kyungho huhuuu msh ga tega soo sm kyungho . Tetep ngeship kyuyoung apapun yg terjadi

    Like

  5. Wah~ aku kira bakal sad end eh ternyata..
    Iihh aku paling suka waktu part soo dateng ke apartement kyu dan kyu membanting pintu di depan wajahnya soo “tidak usah datang kemari lagi” wow itu keren, terdengar sinis dan dingin
    Aku juga suka pemilihan katanya, mengalir, jadi aku yg baca jd ikut pembawaannya kyu yg walaupun sedih tapi berusaha terlihat bahagia
    Eh panjang banget ya komen aku..
    Oke nice ff..

    Like

  6. ya ampun drtdi galau tingkat tinggi gra2 brita soo unie sama jung kyung ho , untung jh nie ff gk bkin galau jga ,, krennn mga jd knytaan
    n brhrap chngmin = jung kyung ho

    Like

  7. ditengah kegalauan para knight.. byk ff banjir kyuyoung.. well semoga berita itu ga bener wkwkwkwk.. bukan ga suka sih tapi yah feel kyuyoung aku menggebu banget.. terimakasih buat ff nya dan buat aku sedikit ngelupain skandal sooyoung.

    Like

  8. Ini Kereen!! 😥

    Gue sedikit agak kecewa man, kenapa endingnya menggantung begitu?!! 😥
    Kenapa gk yg lebiih keren gitu? 😥

    Gue butuh sequel man! gue butuh penjelasan, kenapa Kyu dan Soo bisa putus? Dan apa penyebabya?
    Gue masih penasaran! 😥

    Okee, disini gue bisa ngerasain derita Kyu itu bagaimana, sakit banget kyaknya ya, tpi Kyu, itu juga karna lo tau!

    Jino cukup menghibur, dia kyaknya bisa jadi sosok sahabat yg baik dgn tingkahnya yg bodoh :v

    Sequelnya ditunggu Author yg maniiiss 😀

    Like

  9. Aduh cocok banget sama keadaan..aku ngebayanginnya changmin si kyung ho..alama!efek galau..bagus,iya nih kangen author..biasanya sad tapi alhamdulillah gak..hehe daebak

    Like

  10. Jhahahaha…..
    Aq suka ktika hati kyu menyerukan “Say no no no no no” jdi k.inget lgu.A bruno mars yg Marry U..
    Ff.a bisa mmbuat sedikit mengurangi patah hatiku krna Syoo eon Sma’ jung kyung ho arrrgh… Jinja!!!! 😥

    Like

  11. huaaaaaaaa aku ga tau harus bilang apa 😦 mendadak feel kyuyoung ilang 1 :((
    cuma penasaran kyu putus sama syoo knp hehe

    Like

  12. yeee akhirnya happy ending kkk
    dikira tadinya soo emng beneran udh jadian sama changmin
    keren thooor, ditunggu ff lainnya 😀

    Like

  13. Keren dikira eonni soo beneran pacaran sama changmin oppa ternyata ga baguslah jdi kyuppa ga jdi patah hati atas sikap soo yang menggelengkan kplanya
    Ditunggu ff yang lainnya ya thor ^^

    Like

  14. Keren dikira eonni soo beneran pacaran sama changmin oppa ternyata ga baguslah jdi kyuppa ga jdi patah hati atas sikap soo yang menggelengkan kplanya

    Like

  15. Argh thor rasa nya udah putus asa pass baca gmna hub soo sana changmin..
    Takutnya ini ff sad end :”(
    Tapi yey author dgn kebesaran hati nya membiarkan ff nya happy end..

    Next ff ditunggu ^^,klo authornya nggak keberatan blh minta AS nya nggak tapi klo itu authornya yg mau..^^

    Like

  16. kereennnn…. udah putus asa bgt wkt soo geleng” kepala..
    ternyata.. ekekkek kerenn ditunggu ff selanjutnya…

    Like

  17. 😥 gw nangis baca nih ff…jadi keinget am Kyuhyun yg di tinggal soo eonnie pacaran T…T nyesek sih yah tpi gmna lagi..

    Daebakk buat author nya 😉 KEEP WRITING !!! ^^

    Like

  18. daebak, eonni setelah sooyoung punya pacar dan itu bukan kyuhyun masihkah mau bikin ff kyuyoung? jujur aku sedih.

    Like

Leave a reply to dewayu Cancel reply